Pages

Saturday, 2 May 2020

Cerita Dari Penyair


Aku ingin sajakku terkenal menjulang menuju cakrawala.
Pikirku kali ini akan menjadi ruwet, karena sajak-sajakku hanya tergeletak di atas meja berserakkan kertas yang penuh coretan malam ini. Sekiranya ada beberapa ratus lembar sajak-sajak yang telah ku lahirkan di dalam lembaran kertas yang tadinya kosong itu. Sudah bertahun-tahun aku membuat sajak itu namun tak satupun yang membacanya. Kupikir ini hanyalah omong kosong yang telah kulahirkan dalam imajinasiku saat ini. Terlalu terbuai diriku dalam lantunan syair-syairku yang terasingkan dari dunia.

Terkadang sesekali aku bercerita dengan sajak itu. Aku katakan bahwa aku akan membawanya menuju dunia luar yang indah. Dimana manusia mengatakan surga dunia yang berada di suatu tempat. Entah bagiku itu adalah kahyangan atau hanya taman bermain semata yang kulihat dengan kedua bola mataku ini. Sajakku juga kadang membalas celotehanku yang penuh omong kosong itu “Bagaimana bisa kau akan membawaku jika kau membuat sajak hanya untuk kesenanganmu saja, bahkan kau tak bisa merasakan kesengsaraan dan keterasingan dunia. Kadang yang kau pikir hanyalah kesenanganmu semata akan dunia.” Begitu aku mendengar itu, aku hanya menganggap itu sebuah imajinasiku kalau sajak dapat berbicara dan merasakan apa yang telah aku buat.

Memang sajakku tak pernah laku untuk dibaca. Bahkan segelintir orang menganggap sajakku hanyalah sebutir kesenangan, bukan dari perasaan yang aku rasakan ketika aku sedih, gundah, menderita, sengsara. Begitulah rupanya aku menjelaskan suatu sajakku. Aku juga tak tau hal abstrak apalagi yang kupikirkan tentang sajakku ini. Lagi-lagi aku berceloteh bahwa aku akan mencoba merasakan apa yang dikatakan sajakku kepadaku. Tapi kemudian aku hanya menghasilkan sajak aneh yang tak bisa kubayangkan. Entah aku selalu membuatnya begitu senang atau aku hanya menyukai sajak-sajakku karena aku yang telah membuatnya.

Ketika malam datang juga mereka sajakku berbicara kembali tentang kehidupanku saat ini.
“Cobalah kau mencari dunia tanpa kesenanganmu. Lihatlah dunia yang begitu luas ini. Resapilah tiap kisah sedih yang ada dunia ini. Kau akan merasakannya!” Begitulah mereka menceramahiku tentang dunia.
Aku juga masih tak mengerti apa yang mereka katakan. Ini adalah sebuah teka-teki yang mereka beri untukku. Aku mencoba untuk mengikuti mereka untuk berkelana jauh melihat dunia yang indah.

Tapi yang kulihat kali ini bukanlah yang aku harapkan saat aku bercengkrama dengan sajak-sajakku di dalam ruang gelap kamarku. Aku melihat sesuatu yang tak pantas untuk kulihat. Banyak sekali orang-orang kelaparan di pinggiran trotoar, ia tertidur dengan bongkahan kardus yang telah dibuang dari toko yang sudah tutup. Kulihat lagi sekelilingku, manusia sedang berjalan dengan tatapan kosong yang tak tau kemana. Aku mengikutinya sampai dia terhenti di tengah-tengah jembatan yang tinggi. Ia melihat kebawah, pandangannya menuju jalan raya yang di penuhi kendaraan berlalu lalang dengan cepat. Aku masih bingung memandangi itu, aku tak tau apa yang akan terjadi nantinya. Ia melompat! Aku terkejut melihat ia melompat tanpa beban pikiran yang dibawanya ketika ia berjalan. Orang-orang mulai mengerumuninya.
Lalu kulihat lagi sekelilingku untuk yang sekian kalina aku melihat seorang wanita dengan tubuh mungil yang berjalan di sudut kota. Ia terlihat sangat lusuh, mencoba mendekati orang yang mungkin ia kenalnya saat ini. Berlari menghampirinya dan mengatakan permohonan maaf untuknya, “Maafkan aku telah menelantarkan dirimu sejak kamu kecil, aku tak tahu apa yang akan kulakukan ketika aku menemuimu, bahkan saat ini aku hanya bisa menangis melihatmu.” Aku rasa mereka adalah anak dan orang tua. Tapi dalam sekejap aku melihat campakan dari anak itu yang tak mau memaafkan orang tuanya. Ini sungguh kejam sekali melihat kenyataan seperti itu.
Untuk yang terakhir kalinya aku tiba di sudut perbatasan kota yang di penuhi sawah-sawah hijau yang luas. Sebelum aku menuju rumah aku melihat para manusia berkumpul dengan tangisannya. Mereka mengatakan hal yang sangat tak ku mengerti. Kiranya salah satu dari mereka mengatakan. “Tuhan tolonglah hambamu, sawahku hancur di lindas oleh mesin-mesin penggilas tanah untuk dijadikan beton-beton tinggi. Tuhan berilah hambamu ketabahan untuk ini, aku tak tau apa lagi yang akan aku lakukan kalau sawahku hancur.” Salah satu dari mereka berdoa dengan rasa sedih yang memecah suasana. Aku perhatikan sekelilingku tanah yang luas dipenuhi sawah sebagiannya hancur tak tersisa.
Aku tak tahu apa yang terjadi di luar pikiranku yang hanya di penuhi oleh kesenanganku ini. Aku terduduk sedih melihat semua kenyataan ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi yang akan kulakukan.
Sajakku yang kubawa memberitahu sesuatu yang sangat tak ku mengerti saat ini.
“Sekarang kau sudah mengetahui semuanya. Rasakanlah kesedihan yang telah kau nikmati saat ini. kalau kau hanya mencari kesenangan dalam hidupmu. Kembalilah kamu menjadi anak-anak kecil yang bermain di tengah riuhnya kota. Lihatlah masih banyak yang harus kau ketahui di dalam dunia. Maka kali ini cobalah kau tulis kesedihan yang kau alami! Kau akan mengetahui apa artinya itu, kau akan merasakan hal yang sama dengan apa yang kau lihat.” Sajakku mengatakan dengan tegas. Ku kira ia hanya bercanda untuk menceramahiku kala itu.
Lekas aku kembali ke mejaku yang berserakan sajak-sajakku. Kubasahi semua sajak kesenanganku. Kusisakan beberapa yang terlihat indah. Lalu aku mengerti apa itu artinya dunia. Bahkan dunia tidak hanya soal kesenangan saja. Aku hanya mengira dunia selebar daun kelor yang aku lihat ketika pagi hari. Ternyata aku salah.

Kali ini untuk seterusnya aku akan merasakan apa yang dirasakan oleh sekelilingku dan aku akan membuat bait-perbait sajak dari semua yang telah terjadi, bahkan kalau itu sebongkah penderitaan aku juga akan menjadikannya sebuah sajakku.

Kuharap sajakku akan berkelana menjulang menuju cakrawala indah disana bagaikan surga kahyangan yang banyak manusia impikan. Mereka sajakku akan memenuhi rongga-rongga pikiran manusia yang dilanda dalam kesedihan mereka. Impianku begitu sederhana untuk sajakku kali ini. Mungkin hanya itu.
Kuharap sajakku berkelana mengelilingi dunia yang indah.

Saturday, 11 April 2020

Mimpi Sang Raja Baru



Hari ini aku mengalami berita duka yang sangat mendalam. Kepergian untuk selamanya terjadi kepada ayahku saat ini. Ayahku adalah seorang raja yang sangat terkenal ketika ia memimpin kerajaannya pada saat masa jabatannya itu. Ia dikenal dengan raja yang bijaksana dengan kharismanya yang sangat berwibawa. Semua rakyatnya merasa sangat kehilangan sosok rajanya itu.
Pada saat upacara pemakaman ayah, banyak sekali yang mendatanginya hingga menjadi sangat runyam dan diterpa terik matahari yang berada di atas kepala. Semua orang yang berdatangan bersedih kehilangannya. Seolah tak ada lagi yang menggantikan ayahku menjadi raja. Bagi mereka yang sedang bersedih bahwa sosoknya sangatlah murah hati, walaupun ia adalah seorang raja. Tetapi ia bisa menjadi rakyat biasa ketika ia berkeliling di tengah rakyatnya. Sosok bijaksananya tak pernah terlupakan dalam ingatan rakyatnya.

Setelah selesai berkabung dalam pemakaman ayah, para bawahan raja, mahapatih, mantri, patih, senopati, hingga para tentaranya merundingkan kekosongan bangku kekuasaan yang sangat besar itu. Mereka sesekali menatap padaku yang tak tau apa apa tentang kekuasaan. Seolah aku akan menggantikan tahta ayahku yang akan menjadi pengganti raja kelak kemudian. Aku hanya seorang putra raja yang berusia 18 tahun saat ini. Kemungkinan aku dapat menggantikan ayahku menjadi raja. Hingga para bawahan ayahku selesai berunding dengan wajah yang serius. Mereka lansung berpaling ke hadapanku hingga berkata padaku, “ kau akan menggantikan ayahmu, kaulah satu satunya putra yang dimiliki ayahmu. Esok bersiaplah kami akan mempersiapkan waktu untuk penobatanmu sebagai raja baru.” Mereka mengatakannya dengan serius. Aku terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa karena menduduki posisi raja itu adalah hal yang paling berat dalam hidup. Posisi itu menunjukkan bahwa aku harus siap untuk kerajaan yang akan aku pimpin nanti dan rakyat yang harus kusejahterakan dengan damai dan tenang dalam kehidupannya.

Tiba dirumah aku masih memikirkan hal itu, hingga aku tak dapat tidur untuk mengistirahatkan badanku sejenak. Karena esok adalah hari penobatanku, kamarku dijaga ketat oleh penjaga yang membawa pedang besar dan tameng untuk melindungiku dari segala ancaman yang ada. Hingga ada pelayan yang selalu menemaniku untuk memberikan segala tenaganya melayaniku saat ini. Suasana saat itu sangatlah terjaga tak ada seorangpun memasuki kamarku kecuali pelayan, serta orang-orang yang mempunyai kedudukan di kerajaan.

Aku masih saja tak bisa tenang karena memikirkan hari esok. Pikiranku menjadi semrawut. Hingga tak sadarkan diri aku sejenak memejamkan mata dan tertidur. Tanpa disengaja aku bermimpi seolah besok aku sudah ada di depan singgasana dengan pelayan yang melayaniku untuk menjadi raja. Dalam mimpi itu aku mengikuti pelayanku untuk mengambil jubah yang indah diselimuti permata dan berlian di setiap ujung lengan jubahnya dan peralatan untuk penobatannya besok hari. Aku mengikuti pelayan itu hingga memasuki jalan kecil yang bau dan kotor. Banyak anak kecil yang kurus, badannya kering kerontang, wajahnya sangat kusam seperti tempat itu. Aku melihat seorang suami istri sedang menenun jubah yang indah, aku terpesona melihat jubah itu. Suami dan istrinya itu memandangiku dengan aneh dan berkata, “siapa kau? Apakah kau orang dalam kerajaan yang mewah itu?,” pasangan itu berkata.
“Untuk siapa jubah itu.” Aku bertanya kepada pasangan suami istri itu yang sedang menenun jubah yang sangat indah itu.
“Oh jubah ini untuk tuan kami,” mereka menjawab pertanyaanku. “Ya tuan kami, ia serupa seperti kami, tidak ada beda dari bentuknya. Namun yang dapat membedakan adalah ketika tuan kami memakai baju yang sangat bagus, kami hanyalah memakai baju bekas yang penuh tambalan untuk menutupi lubang di baju kami, saat tuan kami bersenang-senang, kami bersusah payah untuk mencari sebutir nasi yang akan kami makan, sedangkan ia sedang kekenyangan dengan hidangan makanan mewah di sana.”
Sang raja kaget dengan pernyataan pasangan suami istri itu. “ kau hidup bukan di zaman para manusia keji datang untuk menjajah tempat ini, dan ini juga bukanlah peperangan saat kau tertangkap oleh serdadu musuh dan kau di jadikan budak.”
“ Ya memang bukanlah zaman seperti itu, tapi di saat seperti ini mungkin kau harus tau, bahwa tak ada perang, tak ada penjajahan. Bahkan saat ini adalah dimana setiap orang miskin harus mematuhi orang yang kaya. Dan tanpa sadar orang kaya menjadikan orang miskin sebagai budak, dengan nama penggantinya yaitu pekerja.” Ucap pasangan itu dengan menundukkan wajahnya.
“Aku tidak menyangka hal ini.” Ucap sang raja dengan heran
“Kau memang tak pernah menyangkanya, bahwa ini adalah kenyataan. Dan inilah adanya tentang si kaya dan si miskin.” Ucap pasangan suami istri itu

Aku tak menghiraukan ucapan mereka itu, bahwa hanya ada sedikit rasa simpati terhadapat mereka. Lalu aku menghampiri pelayanku yang menyinggahi tempat ukir kayu, di tempat itu aku melihat beberapa manusia sedang bekerja mengukir kayu dengan wajah pucat dan tubuh yang kurus. Aku kaget ketika melihat ada kakek tua yang masih bekerja sebagai pengukir kayu itu yang terlihat sudah tak seharusnya bekerja.
“ Kau masih bekerja sebagai pengukir kayu di usia seperti ini?” ucapku dengan heran melihatnya. “iya aku masih mengukir kayu disini, bahkan kali ini aku mengukir tongkat indah untuk tuan kami.” Ucap kakek itu menjawab pertanyaanku
“memangnya seperti apa tuanmu? Sehingga kau masih harus bekerja sebagai pengukir kayu.” Ucapku.
“Tuanku sama sepertiku, hanya saja ia keturunan bangsawan. Aku mengukirnya untuk kebahagiaannya. Bahkan untuk mendapatkan kayu ini aku sampai kehilangan salah satu keluargaku, yaitu cucuku. Karena disaat aku mencari kayu bersama cucuku, binatang buas tiba-tiba datang dengan wajah kelaparannya, aku diam terpaku dan menyuruh cucuku untuk segera pergi dari sini. Hingga kami berdua lari dengan terengah-engah karena kejaran hewan buas yang menggila karena kelaparan itu. Tapi aku tak sadar bahwa seketika cucuku jatuh terpental jauh, hingga binatang buas itu datang menghampiri dan mencabik-cabik badan cucuku. Aku hanya diam seperti patung melihat kondisi cucuku yang hancur lebur di makan binatang buas. Aku pulang dengan membawa tubuh cucuku yang berantakan dan kayu untuk dijadikan sebuah tongkat.” Ucap kakek itu dengan menahan tangis.
“Aku turut sedih mendengar kisahmu itu, memangnya siapa tuanmu?” ucapku sembari bertanya padanya.
“Tuanku adalah raja yang esok akan dinobatkan sebagai raja baru, dan ini tongkat yang indah untuknya.”
Aku tersentak bangun dari mimpiku dan napasku terengah-engah karena mimpi itu. Perasaanku resah karena mimpiku tadi, aku mencoba kembali tidur lagi untuk menenangkan diri. Aku bermimpi lagi di dalam tidurku. Saat itu aku sedang berada di lubang tambang besar dan di penuhi para penambang. Tambang itu adalah tambang emas yang berada di kaki pegunungan yang luas. Aku berjalan dan melihat pekerja yang sedang kelelahan. Pekerja yang kelelahan itu berisitrahat sejenak di bawah pohon rindang. Aku menghampirinya dan berkata. “Apakah kau seorang penambang disini juga?” tanyaku. “iya aku pekerja di tambang ini, tambang ini sangat mengerikan, tambang ini sudah memakan banyak korban karena alam tidak pernah main-main saat diganggu oleh manusia yang serakah.” Ucap pekerja itu.
“Apa yang kau maksud mengerikan?” ucapku dengan heran.
“ya ini sangat mengerikan jika kau tau, semenjak ada tambang ini sering sekali terjadi bencana, di dalam tambang maupun di luar tambang ini. Saat tambang ini beroperasi keesokan harinya turun hujan deras yang tiada henti hentinya, hingga saat puncaknya hujan menjadi badai, tanah menjadi longsor mennghancurkan pemukiman warga yang ada di sekitarnya, bahkan hampir satu desa terkena tanah longsor itu. Dan desa itu adalah desaku, saat terjadi longsor aku masih bekerja di tambang ini dan aku tak tau apa yang terjadi di desaku. Hingga aku kembali desa sudah hancur tertimpa runtuhan tanah yang dekat dari tambang emas ini. Tanah itu menimpa rumahku yang di dalamnya ada istri dan anakku yang masih berumur 3 tahun. Aku sangat bersedih karna tak dapat melihat mereka lagi. Bahkan aku ingin bunuh diri karena tambang ini.” Ucap sang pekerja itu dengan kesedihan yang ia alami.
“aku turut bersedih karena kau telah kehilangan keluargamu, memangnya adanya tambang emas ini untuk apa?” aku bertanya kepada pekerja itu. “ tambang emas ini untuk kebutuhan bangsawan dan tuan kami.” Ucap pemuda itu. Aku menjadi heran untuk apa mereka lakukan ini hanya untuk bangsawan dan tuannya itu. Sehingga aku semaki sangat ingin mengetahuinya.
“yang kau sebut tuan kami itu siapa?” ucapku dengan rasa ingin tahu. “tuanku adalah raja baru yang akan di nobatkan besok hari.” Ucap pekerja itu.
Aku terbangun lagi dan nafasku terengah-engah karena mimpi itu, jantungku berdebar sangat kencang. Dan tak sadar bahwa hari sudah menjadi pagi. Waktu penobatanku hari ini. Aku masih mengingat mimpi itu. Aku ragu dengan penobatan itu karena mimpi yang aku alami selama aku tidur. Saat pelayan datang membawakan peralatan untuk penobatanku, aku menolaknya untuk memakainya. Pelayan itu bingung, “mengapa kau tak mau memakainya? Ini adalah hari penobatanmu,” ucap pelayan itu. “aku tak ingin memakainya karena itu adalah hasil jerih payah rakyaku hingga kehilangan sanak keluarganya dan rakyatku sangat menderita karena itu.”  Sang pelayan kebingungan hingga dia memberitahu mantri yang berada di kerajaan.

Mantri kerajaan datang menghampirinya dengan wajah heran ia memandangi raja baru dengan pakaian lusuh dan kotor untuk melakukan penobatannya. “ kau ini aneh sekali, ini adalah penobatanmu, mengapa kau berpakaian seperti itu.” Ucap mantri itu. “aku tak ingin merasakan penderitaan rakyatku nantinya, biarkanlah aku seperti ini untuk rakyatku.” Ucapku dengan tegas. Mantri itu semakin gelisah dan memanggil para bawahan lainnya hingga pendeta datang menuju kamarnya itu. “hei kau adalah raja, tunjukkanlah sikapmu sebagai raja bukan sebagai rakyat miskin.” Ucap mereka yang kesal melihatnya. Hingga mereka menamparku dengan kencang hingga aku jatuh ke lantai yang dipenuhi cahaya dari jendela. Aku terdiam dan tak sadar ada sesuatu yang aneh di dalam tubuhku, aku telah memakai jubah indah, jubah ini bukan seperti yang aku lihat dalam mimpi itu. Mantri dan para bawahan raja itu tercekat melihat raja gagah dan berwibawa yang diselimuti oleh cahaya terang dan setelah itu raja berjalan pelan melewati cahaya itu. Hingga para manusia yang ada disana menunduk dan kagum karena kegagahan raja itu.


Tuesday, 7 April 2020

Layang-layang




Hari ini terasa sangat menyejukkan karena pagi ini aku dan kakakku mengikut ayah bertani di tengah pematang sawah yang luas dan hijau.

Kami bertiga berjalan kaki menuju sawah milik ayah. Hari yang cerah dengan matahari pagi yang malu-malu menunjukkan dirinya di ufuk timur menyertai sambutan burung bangau yang sedang berterbangan menuju arah matahari terbit itu dengan gembira mengepakkan sayapnya tanpa ada beban yang berputar-putar di dalam dirinya saat pagi hari itu. Serangga mulai melompat-lompat dari pucuk rumput menuju pucuk rumput lainnya, embun pagi jatuh gemulai mengelitikki tanah-tanah yang gembur di lahan yang luas. Perempuan desa mulai berjalan pergi menuju kebun untuk memetik buah-buahan yang telah bermunculan di pohon. Pedagang memulai pekerjaannya menjual rempah-rempah dan sandang pangan yang di dapatinya dari pasar lokal yang berdekatan dengan desa.

Setibanya kami di tengah pematang sawah, kami membantu ayah menggarap sawahnya. Ayah mempersiapkan arit untuk membenahi sawahnya yang telah panen dan yang masih bertumbuh lucu berwarna hijau cerah. Dengan senang gembira kami melakukan perintah dari ayah untuk menggarap sawahnya. Ditemani oleh serangga-serangga kecil yang berwarna merah kehitam-hitaman. Ayah pun juga begitu semangatnya sangat membara ketika membenahi sawahnya sendiri, seakan ia sedang mendidik anaknya yang sangat disayanginya, dengan lembut ia menggarap sawahnya dengan arit yang tajam seakan dapat merobek sepi yang ada di tempat kami berada.

Aku selalu melihat dan meminta tolong pada ayah untuk mengajariku cara menggarap sawah dengan baik dan benar. Dengan lembut ayah mengajariku caranya. Hingga waktu tak terasa aku menemani ayah menggarap sawahnya. Matahari mulai setengah naik di atas kepala. Menunjukkan hari sudah menjadi siang bolong dimana manusia berhenti sejenak bekerja untuk melepaskan lelah dari pekerjaannya.

Setibanya siang hari yang datang menghampiri dunia. Sangat panas sekali saat siang hari di tengah pematang sawah ini. Hingga kami bertiga bersepakat untuk berhenti sejenak dari panasnya matahari yang sudah di atas kepala. Ayah membawa bekal untuk kami yang dibuat oleh ibu saat pagi hari sebelum kami pergi ke sawah. Kami memakannya dengan lahap tanpa satu butir nasi dan lauk tersisa. Hingga selesai makan membuatku terkantuk-kantuk karena kekenyangan.

Aku tak sadar tertidur untuk sementara waktu sehingga ayah membangunkanku dengan menggoyang-goyangkan badanku yang kecil ini. Aku terkejut saat ayah membangunkanku, aku kira waktu sudah menjadi sore hari. Saat aku bangun ayah berbicara pada kami, “nak, ayah ingin pergi sebentar untuk menemui ibumu dirumah. Kalian berdua tetaplah disini, jagalah sawah ayah agar tidak ada hama yang datang merusak sawah ayah. Kalau sawah ayah rusak, kita tidak bisa memberi kebahagian kepada manusia yang sedang kelaparan di tengah kejamnya dunia ini. Maka jagalah sawah ini sampai ayah kembali,” ujar ayah sembari ia bersiap untuk pergi. “baiklah, aku akan berjaga untuk ayah, aku akan melaksanakan perintah ayah dengan baik.” Kataku sembari melihat ayah bersiap-siap.

Aku dan kakakku berjaga di bale yang ada di tengah pematang sawah tanpa kedip mata sekalipun untuk mengawasi sawah milik ayah yang luas. Kakakku berjaga sambil memandangi langit yang cerah dan ditemani layang-layang yang melayang di langit cerah itu. “lihatlah, layang-layang itu sangatlah indah dan bagus ketika ia terbang di langit, aku ingin sekali mempunyainya,” kakakku berkata sambil memandangi layangan itu. Aku hanya memandanginya sebentar layang-layang itu dan berkata, “iya itu sangat indah ketika kita bisa bermain layang-layang itu. Sungguh sangat menyenangkan.” Kataku.

Kakakku masih saja terus memandanginya, sehingga ia melihat layang-layang yang putus talinya dan menghampiri bale yang ada di pematang sawah. “Lihat, layangan itu menuju kemari, aku akan mengejarnya. Ayo ikut bersamaku,” kata kakakku dengan semangatnya ingin mengejar layangan itu. “ Jangan kak, kita sedang melaksanakan perintah dari ayah untuk menjaga sawah ini hingga ayah datang,” katakku sembari melarang kakak untuk mengejar layangan itu. “Ah kali ini saja aku ingin mempunyai layangan itu, ayolah sebentar saja aku ingin mengejarnya.”

Kakakku pergi mengejar layangan yang menuju ke tengah pematang sawah itu.
“ kak, kembalilah tetaplah menjaga sawah ini untuk sebentar saja hingga ayah kembali.” Ujarku.
“Kamu jagalah sebentar, aku hanya ingin menangkap layang-layang itu, kalau kamu mau ikut, ikutlah denganku.” Ujar kakaku bersiap untuk mengambil layangan itu.
“Aku tidak ikut, aku akan tetap menjaga disini.” Ujarku, Kakakku berlari menuju layangan itu, hingga ia tidak terlihat dengan kedua bola mataku yang kecil. “ Ah biarkanlah dia, aku akan tetap melaksanakan perintah ayah untuk menjaga sawah ini.”
Lalu beberapa lama kakakku datang dengan membawa layang-layang yang dikejarnya itu. “hei lihat kan betapa menyenangkan aku mendapatkan layangan ini, ayo bermainlah sebentar untuk melepaskan lelah setelah menggarap sawah ayah,” ujar kakakku. “ Tidak, aku menolak. Aku harus tetap menjaga sawah ayah,” ujarku, “ayolah sebentar saja kita menikmati layangan ini,” ujar kakakku sembari merayuku untuk bermain layangan itu. “ Aku tidak mau, aku harus tetap menjaga sawah ini.” Dengan wajah kecewa kakakku menatapku, “ah sudahlah terserah kamu saja, aku ingin bermain dulu sebentar, kamu jagalah sawah ayah.” Ujar kakakku.

Aku hanya dapat melihat kakak bermain layang-layang yang telah didapatnya itu. Aku tetap berjaga untuk melaksanakan perintah dari ayah, aku tidak mau mengecewakan ayah karena untuk bermain layang-layang.

Tidak lama kemudian ayah datang kembali ke bale tempat aku berjaga. “Dimana kakakmu ?” ujar ayahku sembari mencari-cari kakakku. “Kakak sedang bermain layang-layang yang ia dapatkan, ia sekarang ada disana,” ujarku sambil menunjuk kakakku yang sedang bermain.

Ayah memanggilnya dengan suara keras, sehingga suara ayah menggema ke seluruh pematang sawah yang ada di sini. Kakakku datang menghampirinya dan ayah berkata, “ kau kemana saja, lihatlah adikmu yang tetap berjaga disini melakukan tugasnya dengan baik. Padahal aku sudah membelikan kalian berdua layang-layang yang lebih bagus karena kalian sudah membantu ayah. Dan ayah kira dengan perintah ayah, kau akan melakukan dengan baik seperti adikmu.” Dengan wajah malu kakakku menundukan kepalanya dan berkata, “ aku minta maaf ayah.” Ia sangat malu dan bersalah karena tidak melakukan perintah ayah. “aku menyesal membeli hadiah untukmu, karena kau tidak melakukan tugasmu dengan baik, maka kau tidak akan aku beri hadiah itu, dan contohlah adikmu yang melakukan perintah dengan baik. Lihatlah dia.” Dengan wajah geram ayah memarahi kakak. “aku sangat minta maaf ayah karena tidak melakukan tugasmu dengan baik, aku sungguh minta maaf.” Ujar kakakku. Ayah masih kecewa dengan kakakku, hingga kami bertiga pulang dari pematang sawah.

Setibanya dirumah aku melihat layang-layang yang sangat besar dibanding yang didapatkan kakakku tadi. “Wahh, layang-layang itu sangat besar dan indah,” ujarku dengan kagum. “Aku membelinya untuk kalian berdua, tetapi karena kakakmu tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, maka aku hanya memberikan padamu.” Ujar ayahku. Aku melihat kakakku, ia termenung dengan wajah menyesal karena tindakannya tadi. “ Lihatlah, kalau sedikit saja kau bersabar untuk melakukan perintahku, maka kau juga akan mendapatkan layang-layang itu. Kau harus belajar dari kesalahanmu itu.” Ujar ayahku. “baiklah ayah, aku sangat minta maaf karena tidak melakukan apa yang kau suruh. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ujar kakaku sembari menyesal dengan perbuatannya. “ Nah, mulai esok bersabarlah untuk mendapatkan sesuatu yang kamu mau, kamu akan mendapatkan yang lebih indah dengan kesabaranmu itu. Bahkan tuhan akan memberimu keajaiban. Itu adalah pelajaran untukmu, untuk hidupmu kelak nanti. Jika kau bertindak gegabah maka kau akan mendapatkan hal yang sama seperti ini.” Ujar kakakku.

Kakakku sangatlah menyesal dengan tindakan gegabahnya. Hingga aku mendapatkan makna yang telah diberi oleh ayah. Maka manusia yang bersabar dan melakukan dengan baik ia akan mendapatkan hal yang baik juga.

Friday, 3 April 2020

Anak Murung




Besok anak yang bernama gaby itu akan berulang tahun yang ke-15 tahun. Ayahnya orang terpandang di kampung halamannya. Karena nama ayahnya yang terkenal, orang-orang di kampung halamannya sangat sumringah mengikuti pesta ulang tahunnya besok hari. Tepat sebelum hari ulang tahunnya pun kebun-kebun bunga sedang bermekaran indah berwarna-warni, perkebunan petani juga ikut merayakan dengan hasil panen yang sangat besar, kerbau dan domba juga berlarian senang di tengah pematang sawah dengan riang gembira menyambut esok ulang tahun gaby.

Gaby sendiri sedang bersekolah yang berdekatan dengan rumahnya. Biasanya ia sangat senang dan gembira saat bermain dengan teman-temannya di sekolah. Namun hari ini ia terlihat sangat gundah. Gaby terlihat begitu murung di tengah pepohonan rindang yang mengelilinya. Di bawah pepohonan ia duduk dengan tatapan kosong hingga teman-teman sebayanya datang menghampiri untuk membuat ia kembali senang seperti hari-harinya sebelumnya. Tanpa sadar ayahnya yang sedang menyiapkan pesta untuknya memperhatikan gaby dari luar sekolah. Wajahnya tampak sedih melihat gaby yang sedang murung karena esok adalah hari ulang tahunnya. Ayahnya teringat sesosok yang sangat ia cintainya yang sudah meninggal 12 tahun dulu, saat gaby masih berusia 3 tahun. Sosok itu adalah ibunya gaby. Ayahnya sangat mencintai istrinya sehingga ia jatuh sakit karena tak ingin berpisah. Setahun dua kali ia berziarah ke makam istrinya. Setiap berziarah ia selalu sedih hingga air matanya membendung. Bahkan terkadang ia memeluki batu nisan yang hanya memaparkan nama istrinya.

Hari ini ayahnya teringat ketika ia bertemu pertama kali dengan istrinya. Saat itu ia masih muda berusia 18 tahun, dan istrinya lebih muda darinya. Mereka saling berkenalan satu sama lain. Saat itu juga musim gugur datang, daun-daun jati berjatuhan menuju tanah. Pertemuan itu sangat menjadi kenangan bagi ayahnya. Hingga berapa lama waktu ia menikah dengan istrinya.

Ia memang sangat mencintai istrinya, sehingga saat istrinya meninggal dunia. Kehidupannya seakan hancur kacau balau. Semua tentang istrinya teringat kembali hari ini ketika ia melihat gaby yang termenung seperti istrinya kala itu yang sedang di ujung kematian atau bisa di sebut dengan sakaratul maut. Gaby sangat mirip dengan istrinya, bibirnya yang merah merona, perasaan yang terkadang gundah gulana. Hal yang terlintas saat itu oleh ayahnya hanyalah mengingatkan kepadanya.

Gaby masih saja terlihat termenung, tentu saja ia menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari esok. Ia pun bergumam dalam hati, “ aku hanya menginginkan sesuatu yang sangat berharga untuk kehidupanku hari ini. Cuaca hari ini cerah sekali, namun suasana gaby sangatlah buruk hingga cuaca mengikuti perasaan yang gundah gulana. Angin mulai berhembus kencang hingga mendatangkan awan-awan gelap yang sangat pekat di langit itu. Membuat hujam badai yang sangat menyeramkan sebelum hari ulang tahunnya datang esok hari.

Hari ulang tahunnya pun tiba. Hari yang datang satu tahun sekali di dalam hidupnya itu. Teman-temannya datang memberi hadiah ulang tahun untuknya, ayahnya pun sama memberi hadiah ulang tahun untuknya. Namun di hari itu gaby masih tetap murung. Ia berlari jauh dari rumah ke tengah pematang sawah yang luas di kampung halamannya. Teman-teman dan ayahnya mencarinya hingga mengelilingi desa, hingga membuat pengumuman untuk mencari anak kecil yang hilang. Seluruh warga desa pun mencari-cari gaby yang sedang termenung itu.

Hingga siang hari datang ayahnya menemukannya di tengah pematang sawah tempat gaby bersembunyi. Ia lalu bertanya kepada gaby, “ nak kamu kenapa termenung di hari spesialmu ini?”. Gaby masih berdiam diri tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya itu. “ ceritakanlah kepada ayah, apa yang membuatmu termenung seperti itu.”. Gaby mulai berani berbicara kepada ayahnya, “ untuk apa hari spesial ini dan hadiah yang telah di berikan untukku, jika aku masih saja tetap tak merasa hidup”. Ayahnya tertegun diam karna sebongkah kata yang telah dikeluarkan oleh anaknya sendiri hingga membuatnya bertanya-tanya, “ memang apa yang kau butuhkan, aku akan mencarinya sekarang pun”. Ujar ayahnya yang sedang bingung karna gaby. “ aku tidak pernah memintamu untuk merayakan hari ulang tahunku, hadiah yang kau berikan,” ujar gaby . “ baiklah kau mau apa?” ujar ayahnya. “ aku hanya ingin kau memberikan aku cinta, bahwa selama ini aku tak merasa hidup karena aku tak pernah merasakan cinta, bahkan dari ayahku sendiri yang sangat sibuk dengan urusan dunia. Aku sangat membutuhkan itu, baik dalam keluarga maupun lainnya.” Ayahnya terdiam dan berpikir kalau ia tak pernah memberi cinta karna ia sangatlah sibuk dengan dunianya sendiri.

Acara ulang tahun gaby menjadi berantakan karena gaby tak pernah merasa hidup tanpa adanya cinta. Keesokannya ayahnya merubah hidupnya untuk anaknya sendiri dan ia mulai memberi cinta pada anaknya sendiri. Ia berjanji dalam hidupnya bahwa hal yang terpenting adalah kasih sayang dan cinta untuk keluarga dan sesama manusia. Ayahnya memulai kehidupan dengan penuh cinta untuk anaknya, ia tak mau mengecewakan anaknya yang sangat cantik itu

Tuesday, 31 March 2020

Kurcaci Kecil




Kurcaci kecil yang suka berjalan-jalan mengelilingi kebun bunga yang sedang bermekaran di penghujung musim semi. Saat siang hari kurcaci sedang berjalan mengelilingi kebun itu, tanpa sadar kurcaci kecil itu memandangi putri yang sedang termenung di tengah savana luas. Wajahnya sangat menawan, pipi yang merah seolah di penuhi kelopak bunga-bunga mawar yang berterbangan di udara, matanya berkilau diterka cahaya matahari.

Kurcaci itu datang menemui sang putri yang sedang sendiri di tengah kebun mawar yang indah itu. Putri  termenung di dalam kegelisahan hidup yang tak pernah tau kapan akan berakhir. kurcaci mencoba mengajak sang putri berbicara, tetapi sang putri tetapi berpaling muka darinya. Sehingga kurcaci spontan mengucapkan “Suatu saat aku akan berbagi cinta denganmu, entah itu kapan datangnya” kurcaci itu berkata. Terkejut sang putri mendengar ucapan itu hingga membuatnya ketakuan karena tak tau siapa yang telah berbicara. Putri mencari kemana arah suara itu, lalu ia melihat kebawah dan hanya ada kurcaci. “Apa kau yang telah berbicara kepadaku?” kata sang putri. Dengan malu kurcaci hingga tak sadar wajahnya telah menjadi merah merona. “A...aku yang tadi mengucapkannya” kurcaci itu berbicara dengan malu. “Aku tidak akan mau bercinta denganmu, tubuhmu sangat kecil, dan kau tidak rupawan seperti makhluk buas yang ada di hutan belantara” Sang putri menghardik kurcaci itu dengan kejam. “Kalau kau ingin sekali bercinta denganku, kau harus rupawan seperti pangeran yang ada di kerajaan-kerajaan besar”.  Kurcaci itu sangat kecewa dan merasakan sakit yang tak berujung karena mendengar ucapannya itu.

Setibanya di rumah yang ada di tengah hutan itu kurcaci melihat kaca yang berkilau yang memantulkan bayangan dari rupa kurcaci itu sendiri. Kaca itu sangat besar hingga kurcaci dapat melihat seluruh tubuhnya sendiri, kaca itu adalah cermin pemberian kentaur yang telah di temuinya di semenanjung Maleia. Ia melihat rupanya yang sangat buruk dengan tubuh kecil, hidung yang besar, mata yang besar dan dagu yang di penuhi janggut. Kurcaci terkejut karena ia baru pertama kalinya melihat rupanya yang sangat buruk itu.

Malam selalu datang dan ia selalu merintih hingga menimbulkan suasana riuh di tengah hutan dengan tangisannya. “Kasihan sekali dia, karena melihat rupanya yang buruk dia sehari penuh merintih tak terima dengan rupa yang buruk itu” kata burung hantu. “Tidurku sangat terganggu karena tangisan kurcaci itu, aku akan menghampirinya” kata burung kenari. “Hei kurcaci kenapa kamu selalu bersedih di tengah malam begini”. “Rupaku sangatlah buruk hingga seorang putri menghinaku dan mengacuhkanku begitu saja” kata kurcaci. Burung kenari bergumam dalam hati “Ternyata masih ada yang masih percaya dengan cinta”. “Aku mempunyai cara agar kau tidak terlihat buruk lagi dan kau akan menjadi rupawan seperti pangeran-pangeran yang ada di kerajaan” kata burung kenari. “Bagaimana caranya, cepat beritahu aku!”. “Kau datanglah ke semenanjing Maleia, dan tunggulah salah satu makhluk mitologi yang ada di sana”.

Keesokan harinya kurcaci mengikuti saran dari burung kenari tersebut. Ia berjalan jauh menuju semenanjung Maleia di Lakonia selatan. Perjalanannya sangat jauh berhari-hari hingga melewati pegunungan es yang sangat dingin.

Ia tiba di semenanjung maleia itu dan mengikuti saran untuk menunggu makhluk yang ada disana. Sudah tiga hari tiga malam dia disana dan tidak ada satupun yang datang bahkan melewati semenanjung itu. “Apa aku hanya di bodohi oleh burung itu?, sebaiknya aku kembali saja ke rumahku dengan keputusasaanku ini untuk mendapatkan apa yang aku mau” kata kurcaci itu. Saat ia mulai berkemas tiba-tiba ada makhluk misterius yang datang entah darimana asalnya. Tubuhnya setengah manusia setengah kuda. “Hei apa kau yang di maksud dengan makhluk mitologi di semenanjung ini?”. Makhluk itu hanya diam saja hingga kurcaci itu menaikan nada bicaranya dengan pertanyaan yang sama. “Apa yang kau mau jauh jauh datang ke tempat ini?” kata makhluk itu. “Aku hanya ingin meminta permohonan kepadamu, aku ingin mempunyai rupa seperti pangeran-pangeran di kerajaan”. “Permintaanmu sangatlah sulit untuk di kabulkan, itu seperti menghina sang pencipta” kata makhluk mitologi. “Tolonglah aku bermohon kepadamu, apapun akan aku dapatkan jika kau dapat mengabulkan permintaanku”. “Aku bisa membuatmu rupawan, tetapi kau harus memenuhi persayaratan ini. Kau harus mencari bunga mawar hitam tanpa duri yang ada di dunia ini, dan kau harus memakan satu persatu kelopak bunga mawar itu. Setelah itu kau akan terlihat rupawan”.

Setelah bertemu dengan makhluk itu kurcaci mengelilingi dunia mencari bunga mawar hitam tanpa duri. Hingga dia tiba di kebun yang ada di tengah hutan borneo dan menemukan bunga mawar itu. Dia senang sumringah menemukan itu, lalu melahap tanpa ada sisa kelopak bunga mawar hitam. Ia melihat ke arah air dan rupa buruknya sudah hilang. Kurcaci itu sangat rupawan.

Keesokan harinya ia pulang dan lansung menuju kebun yang pernah di singgahi sang putri waktu itu. Dengan waktu yang tepat saat sang putri sedang terduduk diam di tengah kebun itu. Ia menghampirinya tanpa ragu dengan wajah rupawan yang telah ia dapati. Karena elok yang rupawan ia berani mengajak berbicara sang putri. “Aku sudah seperti yang kau inginkan, seperti pangeran kerajaan rupawan yang kau inginkan saat itu. Aku kurcaci yang dulu kau hina” dengan nada sombong kurcaci itu berkata. “Inilah diriku yang kau mau. Maka marilah kita bercinta”

Tragis sang putri hanya berdiam diri
.
“Sekarang kau memang rupawan, tetapi kau tetap saja kurcaci. Lagi pula pangeran yang aku dambakan telah menemuiku pekan lalu dan dia akan menikahiku.”.

“Kau sungguh kejam! aku bersusah payah mendapatkan rupa yang kau mau saat itu” kata kurcaci itu dengan murka yang melanda dirinya setelah mendengar ucapan dari sang putri.

“Apa yang kau maksud dengan kejam?” kata sang putri. “ kuberi tahu padamu. Kurcaci tetaplah kurcaci, dan kau itu hanya apa? Kau hanya kurcaci yang tak punya apa apa!”. Kemudian sang putri beranjak pergi dan menghiraukannya.

“Aku bersusah payah mendapatkan semua ini, dan dia pergi menghiraukanku begitu saja. Sungguh bodoh cinta itu!. Cinta hanyalah khayalan semata, tidak membuktikan apapun. Membuat makhluk apapun menjadi gila dan mempercayai hal yang tidak nyata. Sangat tidak berguna. Lebih baik aku kembali pulang dan menitih kehidupanku lagi”.

Kurcaci itu kembali pulang dengan rasa kecewa yang sangat mendalam. Ia hanya mendapatkan penyesalan dari cinta.

Friday, 27 March 2020

Raksasa dan Anak-anak



Setiap sore hari, saat anak-anak bergegas pulang dari sekolahnya. Sebelum mereka sampai di rumah, mereka singgah di suatu taman besar yang berdekatan dengan sekolah mereka itu.

Taman besar itu seperti surga yang ada di dunia. Pohon-pohon yang rindang menghiasi di tiap sudut-sudut taman, air mancur yang gemericik menemani ikan-ikan yang sedang berenang di dalam kolam besar penuh batu karang hiasan di dalamnya, rumput hijau mengelilingi halamannya seperti di kahyangan yang indah, dan juga banyak pohon apel yang berbuah saat waktunya. Di musim panas pohon apel mulai berbuah, warna buahnya sangatlah indah berwarna merah seperti bibir yang di hiasi gincu merah. Di musim panas pula ikan-ikan mulai mempunyai anaknya. Tupai pun senang bermain di taman itu dengan berlari-lari di ranting pohon yang sangat kuat dan kekar itu, hingga anak-anak mengikutinya berlari mengelilingi taman yang luas itu. “Aku suka mengikuti tupai-tupai berlari di ranting pohon itu” sahut salah satu dari mereka. Hingga mereka mengikuti tupai itu menuju tempat yang tak pernah dilihat oleh mereka selama bermain di sana. Tempat itu sangat suram hingga tak ada manusia yang berani datang kesana, dan juga banyak yang mengatakan bahwa tempat itu di huni raksasa yang menakutkan. Raksasa itu tertidur dan tak ada yang berani membangunkannya

Mereka pun linglung karna tak tau tempat itu, hingga salah satu dari mereka berteriak melihat kaki raksasa yang sangat besar dan berbulu. Teriakan itu membuat raksasa terbangun dan membuatnya murka karena terganggu. “Mengapa kalian bermain di sini?” dengan nada tinggi yang membuat anak anak ketakutan dan berlari menjauhinya. “Ini Tempatku, bukan untuk tempat bermain” kata raksasa itu.

Anak-anak itu mulai tau bahwa di taman yang luas itu terdapat tempat yang menyeramkan, hingga rasa ingin tau mereka semakin tinggi apa yang di balik tempat menyeramkan itu.

Musim panas telah terlewatkan, hingga datanglah pergantian antara musim panas dan musim penghujan yang biasa disebut dengan musim pancaroba. Burung-burung mulai mencari tempat teduh, seakan tahu akan ada hujan lebat disertai angin yang kencang akan datang suatu hari nanti. Namun di tempat raksasa itu masih saja gelap dan tak ada cahaya satupun yang bisa memasuki tempat itu. Burung-burung tak berani memasukinya. Pohon yang ada di dalamnya hanya pohon beringin yang tak berbuah hingga ranting pohon itu menjulur jatuh ke tanah. Anak-anak sesekali melihat tempat itu. “Cahaya pun tak berani memasuki wilayah itu” kata salah satu dari mereka.
Hingga tiba saat musim penghujan, namun seolah tempat raksasa itu di kerumuni petir-petir yang berkilau dan menimbulkan suara dentuman yang besar, seakan-akan langit sedang marah. Hujan dan angin bersatu padu mengelilingi tempat itu membuat badai yang sangat besar dan mengerikan hingga salah satu pohon di dalamnya tumbang terbengkalai di halaman tempat raksasa itu. “ lihatlah aku bisa menumbangkan pohon itu” kata angin, mari “Mengapa kita tidak mengajak petir, ini pasti sangat menyenangkan”. Petir pun datang menghampiri tempat itu, membuat dentuman besar mengarah ke pohon, hingga salah satu pohon itu terbakar dan menjalar ke rumput sekitarnya.

“Aku tak tau apa yang telah terjadi, badai besar hanya datang di tempatku saja” kata raksasa itu, “Semoga cuaca cepat membaik”

Tapi tidak seperti yang diharapkan oleh raksasa itu. Badai besar terus menerus datang menghampirinya walaupun sudah hampir tiba musim panas. “Raksasa itu tak pernah berbagi dengan sekelilingnya” kata pohon-pohon di sekitar taman itu.

Suatu hari raksasa itu termenung dan mendengarkan suara yang datang entah dari mana asalnya. Suara itu indah sekali terdengar di telinganya. Ia mengikuti suara itu hingga melihat tempat yang tak pernah dilihatnya. Tempat itu adalah taman besar indah yang mengelilingi tempat raksasa itu. Banyak anak-anak bermain riang dengan pohon-pohon dan burung-burung senang berkicau, tupai berlarian di ranting-ranting pohon. Buah apel mulai bertumbuh di pohonnya.

Anak-anak itu menghampiri raksasa itu, walau tubuh raksasa itu mengerikan. “Kemarilah, aku tau kau terpesona dengan taman ini, maka ikutlah bermain bersama kami”. Kata salah satu anak itu. Raksasa pun terkejut, hingga dia bergumam di dalam hati “Selama ini aku tak pernah melihat dunia luar yang indah, hingga aku tak pernah mau berbagi dengan sekelilingku”. “Sekarang aku tau mengapa badai besar selalu datang di tempatku itu, karena aku tak pernah mau berbagi dengan sekelilingku. Aku sangatlah egois!”

Maka raksasa pun mengikuti mereka, hingga raksasa itu mengajak mereka ke tempatnya. Sesampainya di tempat raksasa itu, sinar mentari mulai berdatangan satu persatu menyinari tempat raksasa itu. Ranting pohon beringin yang menjulur ke tanah mulai hilang dan menjadi pohon yang indah, rumput-rumput menghijau kembali, burung-burung mulai datang dan bernyanyi di tempat itu, para tupai mulai datang dan bermain di pohon-pohon. Raksasa itu mulai membuat tempat bermain untuk anak-anak.

Setiap hari tempat itu sudah tak pernah sepi, selalu di kerumuni oleh anak-anak setelah pulang sekolah. Bermain di halaman yang sudah di buat raksasa itu.

Namun waktu terus berputar tanpa terasa berlalu sangat cepat. Hingga raksasa itu mulai menua dan hanya bisa melihat anak-anak bermain di halamanya. Raksasa itu termenung “Tempatku kini menjadi sangat indah, namun yang membuat indah adalah anak-anak itu”.

Musim penghujan datang lagi, namun sudah tak seperti dulu. Kini tempatnya tidak lagi di landa badai besar yang sangat mengerikan. Namun saat musim panas tiba, raksasa itu kagum karna melihat bunga bermekaran dan buah-buah jatuh dari pohonnya.

Seketika raksasa itu mendengar suara rintihan kesakitan, ia berlari menghampirinya. Ternyata suara rintihan itu datang dari anak kecil yang sedang terluka. “Siapa yang telah membuatmu menjadi seperti ini? Biar aku yang akan menemuinya” kata raksasa itu “Tidak usah, kau sudah sangat baik hingga hari ini, biarlah aku akan mengajakmu ke tempatku. Tempat yang sangat indah dari dunia yaitu surga, dimana tak ada badai besar yang akan menghampirimu.”

Ketika esoknya anak-anak ingin bermain ke tempat raksasa itu, mereka terkejut melihat ia tersungkur jatuh ke tanah di selimuti rumput dan bunga yang bermekaran di tubuhnya. Raksasa itu sudah tak bernapas lagi dan tubuhnya dingin. Seluruh tubuhnya dihiasi bunga dan burung-burung berkicau sedih di sekelilingnya.

Thursday, 30 January 2020

Budaya Menikmati Kopi atau Nilai Dari Kopi

Sudah bukan rahasia pergaulan duniawi lagi bagi penikmat kopi yang sudah di cap menjadi budaya bagi sebagian manusia di negara seribu pulau yang dibilang tanah surga. Sebagaimana kopi adalah hal ternikmat di kala waktu luang atau bisa dibilang kalau di zaman modern ini waktu santai untuk menghilangkan segenap pikirian stress dan dapat menenangkan pikiran segala umat. Mulai dari umat yang sekadar membeli kopi seharga 3000 rupiah hingga umat yang membeli kopi seharga langit ke tujuh yang mahalnya tak terhingga bagi manusia yang tak mempunyai uang lebih. Bahkan di jaman sekarang ini yang terbentuk menjadi modern, sudah banyak toko kopi yang bertaburan di mana pun manusia berada, mulai dari warung kopi atau biasa disebut dengan warkop hingga coffe shop lebih modern untuk kalangan anak muda saat ini.

Salah satu teman lama saya yang sudah saya kenal sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga saat ini saya sudah berada di semester akhir masa perkuliah yang bisa dibilang sudah menjadi mahasiswa tua sedang mengejar skripsi. Saat menentukan tempat untuk berkumpul seperti selayaknya dalam demokrasi di dalam negara yang menentukan pilihan untuk mencari tempat untuk sekadar bersuka ria dalam gelap malam, ia berkata kepada saya " Sudahlah ke coffe shop aja. Disana kan enak tempatnya, sama aja seperti warkop pinggir jalan, ada makanannya juga kok".

Kata-kata itu terus terbenak di dalam pikiran saya untuk memilih tempat yang harganya mencukupi kantong atau yang tidak mencukupi kantong untuk sekadar berkumpul saja. Saya hanya membalasnya dengan lirih " Saya ke warkop aja deh, harganya juga pas buat kantong saya, kapan-kapan saya ikut deh kalo coffe shop".

Memang pendapat kawan saya itu hal terbaik untuk berkumpul. Bahwa banyak yang mengira coffe shop adalah tempat yang nikmat untuk disinggahi. Di sana tersedia berbagai macam menu untuk dinikmati. Di sana tempat yang santai untuk berkumpul tanpa ada gangguam suara kendaraan berlalu lalang. Bahkan di sana juga kita tau apa rasa kopi yang sangat nikmat dan enak untuk dirasakan oleh lidah kita.
Demikian juga kita bisa melihat kebudayaan untuk menikmati kopi sudah berubah menjadi modern. Cara kita melihat seperti coffe shop yang bermerk itu. Jika dibandingkan dengan warung kopi pinggir jalan bukan bagaimana kita menikmati cita rasa dari kopi tersebut. Tetapi bagaimana kita menikmati kopi di sana tanpa harus berada di coffe shop tersebut. Karena coffe shop memang paling nikmat untuk pecinta kopi, akan tetapi ya kopi adalah kopi, segala kopi juga hanyalah kopi, yang dinikmati itu tujuan dalam perkumpulan dengan manusia. Ya perkumpulan bukan kopi.

Untuk mencari cara berpikir sebagaimana tempat kopi bukanlah pusat dari segala-galanya cara untuk berkumpul, setidaknya penentuan nasib lah yang seharusnya menjadi tujuan untuk mencari tempat sesuai dengan gaya hidup yang kita miliki. Warung kopi ataupun disingkat menjadi warkop adalah inti dari segala tempat untuk berkumpul, seperti juga warung pinggir jalan yang hanya menyediakan rokok ketengan dan berbagai macam minuman maupun cemilan yang disajikan. Demikian, secara modern lah kita menggambarkan coffe shop adalah tempat untuk berkumpul segala-galanya. Kegiatan ngalor ngidul seperti berkumpul pun memerlukan ruang publik. Itu hanyalah sebagian dari teknis yang dibuatnya, dengan segala nilai dari kopi tersebut.

Dengan demikian pun coffe shop bukan patokan nila dari kopi tersebut. Bagaimanapun kekeliruan ini menjadi habitus yang akan menjadi identitas kita sendiri. Sedikit aneh rasanya kalau nilai untuk berkumpul hanya dilihat dalam fasilitas dan kualitas tempat yang akan dijadikan menjadi tujuannya. Lumrah saja kalau kopi seperti espresso, americano, gayo, dan lain-lain yang disebutnya sebagai kopi. Tetapi bukan karena cita rasa kopi dan fasilitas yang telah disuguhi, melainkan orientasi tempat dan tujuan kita untuk berkumpul serta bersuka ria.

Warung kopi seharusnya mampu menjadi mandiri dalam jaman modern hingga dapat menemukan cara sendiri sebagai tujuan dari segala nilai perkumpulan para manusia modern maupun kalangan lansia yang srrang menikmati masa-masa hidupnya.

Itulah soalnya, dalam modernintas ini kita selalu memandang suatu ketertarikan kita melihat segala cara untuk mencapai suatu kelebihan dari modernitas yang telah kita alami di zaman teknologi canggih ini. Juga dalam eksistensi kita demi memiliki estetik untuk bentuk apapun dalam kehidupan modern ini.

Dengan modernintas yang telah manusia jalani saat ini, tampaknya saya mulai bisa mengidentifikasikan kebudayaan kopi yang sudah lama ditekuni oleh berbagai kalangan manusia di Indonesia ini.  Seharusnya  yang disebut kebudayaan ini hanyalah bagaimana cara kita menentukan tujuan dan mencari arti dari nilai perkumpulan untuk berinteraksi satu sama lain antara manusia, jin, makhluk halus.