Pages

Thursday, 25 November 2021

Menelaah Ruang Publik Dalam Segi Minat Baca Aliansi Perpustakaan Jalanan

 Pada dasarnya yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana salah satu tanggung jawab yang mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa yang cerdas dapat dinilai dari potensi minat baca masyarakat dari negara tersebut. Berbagai upaya mencerdaskan bangsa sudah banyak dilakukan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Tentunya minat baca begitu penting dalam mewujudkan cita-cita dari tujuan mencerdaskan bangsa yang telah tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adanya perpustakaan sebagai sarana mengembangkan ilmu dengan berbagai macam koleksi buku dapat menarik perhatian untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Tetapi dalam hal mengenai minat baca yang dilansir oleh United Nation Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO), yang merupakan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan yang telah berdiri sejak tahun 1945 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebutkan Indonesia mendapati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, hal itu berarti dari seribu orang hanya ada satu orang yang mempunyai minat baca tinggi.

menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% yang mempunyai minat baca. Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia menduduki urutan 38 dari 39 negara yang telah diteliti. Menerut laporan Bank Dunia No.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to recovery), menyebutkan bahwa tingkat membaca mulai dari usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya dapat meraih skor 51,7 sedangkan itu di Filipina (52,6), Thailand,(65,1) dan Singapura,(74,0). Dari data yang telah dipaparkan oleh UNESCO menjelaskan bahwa tingkat minat baca di Indonesia masih terbilang rendah.

Beberapa kelompok pemuda yang menjalankan kegiatan baca membaca untuk mengembangkan budaya literasi masyarakat yang terbilang rendah, salah satunya Aliansi Perpustakaan Jalanan yang sudah lama terbentuk dari penggiat literasi dan kelompok pemuda. Adanya Aliansi Perpustakaan Jalanan yang memanfaatkan ruang publik, seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan sebagainya. Mereka yang terdiri dari anak muda penggiat literasi yang menjadi wadah untuk kegiatan mengembangkan budaya literasi dalam hal membuka perpustakaan jalanan untuk masyarakat membaca secara gratis. Buku yang mereka sajikan berbagai macam, mulai dari cerita anak, dongeng, novel, hingga buku pelajaran untuk anak sekolah. Bahkan Aliansi Perpustakaan Jalanan juga melakukan kegiatan diskusi publik untuk mengembangkan pengetahuan, baik untuk yang bergabung dengan Aliansi Perpustakaan Jalanan hingga ke masyarakat.

Penjelasan mengenai ruang publik yang dikemukakan oleh Habermas yang menjelaskan bahwa ruang publik merupakan wilayah sosial yang lepas dari sensor dan dominasi. Semua orang bisa memasuki ruang tersebut. Individu berkumpul untuk berserikat dan menyatakan pendapat. Dari sinilah opini publik terbentuk dan hal terpenting dari ruang publik adalah informasi (Y. Sumaryanto, Tesis 2008). Ruang publik yang merupakan pluralitas dan dapat digunakan oleh berbagai macam kalangan seperti keluarga, komunitas, dan organisasi.

Aliansi Perpustakaan Jalanan yang menjadi aktor dalam membangun aktivitas ruang publik sebagai ranah untuk mengembangkan budaya literasi masyarakat. Dimana tempat berkumpulnya masyarakat untuk sekadar berdiskusi, maka itulah yang dapat disebutkan dengan ruang publik. Makna ruang publik dapat diartikan bahwa ruang publik tidak berkaitan dengan kepentingan seperti politik dan ekonomi. Namun seyogyanya ruang publik tidak terbatas, dengan kata lain bahwa ruang publik adalah tempat kebebasan berpendapat.

Seperti apa yang telah dilakukan oleh Aliansi Perpustakaan Jalanan bahwa mereka yang memaknai ruang publik tidak terbatas dapat menjadi arena untuk pembentukan ide, pengetahuan serta menjadi pendidikan alternatif sebagai ranah Aliansi Perpustakaan Jalanan. Kebersamaan kolektif yang menjadi sebuah ide dalam membangun Aliansi Perpustakaan Jalanan menjadi wadah alternatif bagi masyarakat.

Meski begitu, dalam menjalankan kegiatan aktivitas ruang publik, terdapat konstestasi ruang publik yang menjadi faktor penghambat dalam tujuan yang ingin dicapai oleh Aliansi Perpustakaan Jalanan yaitu untuk mengembangkan budaya literasi masyarakat. Salah satunya beberapa aktor yang menjadi faktor penghambat itu ialah tukang parkir dan penjaga taman kota yang bertugas di kawasan tersebut. Namun aktor tersebut hanyalah menjadi salah paham dan mengira bahwa kegiatan Aliansi Perpustakaan Jalanan sedang berjualan buku di kawasan yang telah dijaga oleh aktor itu.

Sedang itu terdapat pendukung bahwa adanya Aliansi Perpustakaan Jalanan membuat perubahan bagi masyarakat secara tidak lansung. Dilihat dari segi ruang publik yang menjadi arena, perubahan yang terjadi terlihat bahwa ruang publik yang disebutkan seperti taman kota tidak hanya untuk menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat, melainkan menjadi tempat untuk berdiskusi. Sebagaimana ruang publik tersebut menjadi arena yang telah dilakukan oleh Aliansi Perpustakaan Jalanan.

Sebagai penutup, Aliansi Perpustakaan Jalanan memanfaatkan ruang publik sebagaimana mestinya. Bahkan ruang publik yang sebelumnya hanya untuk tempat berbincang-bincang antar individu, menjadi tempat untuk mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan budaya literasi masyarakat. Hingga dapat terjadi beberapa perubahan dalam makna ruang publik yang semestinya untuk menjadi arena perkembangan ilmu pengetahuan dengan cara membuka lapakan buku untuk membaca buku secara gratis, membuat diskusi publik tentang pengetahuan umum.

Menulusuri Jejak Nilai Tanda, Simbolik, dan Eksistensi Konsumerisme Masyarakat

Manusia tanpa disadari memiliki perilaku konsumtif yang berlebihan. Melihat E-commerce yang sudah merebak dalam ranah besar dunia maya, dapat membuat manusia mencuci mata untuk sekadar melihat-lihat tren dari gaya hidup zaman sekarang. Sifat konsumtif yang terjadi di kota-kota besar menjadi acuan untuk manusia menunjukkan jati diri mereka melalui tanda konsumerisme yang menjadi nilai lebih bagi mereka. Terutama di wilayah perkotaan, konsumerisme telah menjadi arena untuk menunjukkan eksistensi diri seseorang.

Internet yang bukan lagi sekadar dunia maya dengan seiringnya perkembangan teknologi, internet menjadi media untuk masyarakat dalam berinteraksi antar sesama individu. Melalui jejaring sosial yang ada di internet menjadi dasar dan sebab perkembangan pesatnya teknologi bagi masyarakat. Atas dasar inilah budaya pop yang menjadi sebab akibat dalam konsumerisme masyarakat.

Teknologi yang semakin canggih menjadi arus informasi bagi masyarakat untuk menulusuri budaya populer yang berada di luar Indonesia. Khususnya sosial media yang menjadi arena bagi kehidupan keseharian masyarakat. Menjadi hal yang sangat memungkinkan teknologi menjadi desain dalam ruang konsumerisme.

Melalui konsumerisme memasuki ranah jagat raya sosial media sebagai relaitas sosial yang terjadi di masyarakat melalui media. Eksistensi konsumerisme tidak kalah saing dengan adanya E-commerce atau biasa disebutkan dengan online shop yang kian digunakan oleh generasi ke generasi.  Terlebih lagi melalui perkembangan teknologi yang berkembang pesat, masyarakat dimudahkan untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan dengan klik dan klik melalui aplikasi belanja online. E-commerce yang dapat memudahkan masyarakat dalam memilih dan memilah barang tanpa harus datang lansung ke kios atau toko-toko yang terdapat di pusat perbelanjaan menjadi faktor yang menjadikan masyarakat memulai perilaku konsumtif.

 

Tren dan gaya hidup menarik perhatian masyarakat untuk mengikuti dunia fashion. Teknologi yang menjadi faktor serta sebab akibat pesatnya kemajuan penyebaran informasi yang tidak lagi melalui surat kabar atau media massa lainnya. Melalui tren daya gaya hidup dari budaya yang bukan berasal dari Indonesia menyebabkan berbagai pengaruh bagi masyarakat modern. Seperti halnya budaya Korea Populer atau biasa disebut dengan K-pop, tren musik, fashion pada zaman 1970-1980 , dan Cosplayer Jepang dapat menjadi pengaruh bagi perilaku konsumtif masyarakat dalam dunia fashion yang telah tesebar melalui arus informasi di internet.

Penjelasan mengenai budaya populer yang menjadi ruang konsumsi menjadi kegiatan berbelanja bagi masyarakat.  Kegiatan berbelanja khususnya didesain menarik dalam hari-hari besar di Indonesia. Momen-momen hari besar dilihat oleh para kapitalis sebagai momen yang tepat untuk menjual barang dengan keuntungan yang besar. Seperti halnya momen hari besar lebaran, natal, dan akhir tahun yang tepat dalam menjadikan arena perdagangan komoditas. Hal ini bukan terjadi karena adanya hari raya besar, tetapi tanpa disadari bahwa masyarakat dimanfaatkan melalui momen hari raya tersebut. Tanpa sadar pemanfaatan momen tersebut kapitalis menjadikan internet sebagai agen untuk meraup laba yang menguntungkan dengab momen tersebut. Pada dasarnya terdapat penanaman norma yang telah disisipkan dan seolah memaksa masyarakat pada setiap momen hari raya untuk berbelanja.

Perilaku konsumtif sendiri terjadi pada masyarakat yang merasa tidak pernah puas pada tren dan gaya hidup mereka. Keinginan dalam membeli barang-barang yang menjadi sifat dasar tanpa disadari manusia itu sendiri dapat menjadi perilaku konsumtif. Gambaran perilaku konsumtif ini tanpa sadar menggambarkan bahwa konsumerisme yang menjadi nilai tanda dan simbolik tanpa dilihat dari fungsinya, sehingga mereka mengkonsumsi komoditi secara berlebihan untuk menunjukkan eksistensi nilai tanda mereka.

Pada intinya, tanpa kita sadari konsumerisme telah menjadi eksistensi dan menjadi identitas dalam masyarakat di era modern ini. Alhasil masyarakat menjadikan simbol untuk menjadikan eksistensi mereka melalui komoditi yang telah mereka beli dan memberi tanda atau nilai tertentu dalam perilaku konsumerisme tersebut. Gambaran konsumerisme sudah semakin jelas terlihat melalui budaya konsumerisme dengab adanya nilai tanda dan simbolik komoditi masyarakat. Menelusuri pemikiran Jean Baudrillard melalui konsumerisme dan kelas sosial menjadi tidak relevan dalam dunia simulasi dimana citra visual dianggap lebih penting daripada kenyataan itu sendiri. Baudrillard melihat logika nilai-tanda sebagai kemenangan besar kapitalisme dalam upayanya untuk memaksakan tatanan budaya yang sesuai dengan tuntutan produksi komoditas skala besar (Miles, 2006: 46).

Bahwa pada dasarnya seperti yang telah kita lihat sendiri melalui realitas sosial bahwa individudapat menunjukkan jati diri mereka melalui tren dan gaya hidup yang telah mereka sisipkan nilai tanda dan simbolik yang tanpa disadari mereka lakukan. Sehingga menimbulkan kelas diantara kelompok masyarakat melalui komoditi. Termasuk juga bahwa seperti nilai-guna material telah dihiraukan oleh masyarakat modern saat ini, bahwa mereka menunjukkan simbolik mereka dalam menggambarkan jati diri mereka melalui eksistensi komoditi barang yang telah dibeli.