Pages

Tuesday, 2 July 2019

Antara Aku, Kamu, dan IPK yang Menyebalkan

Antara aku, kamu, dan ipk kuliah yang menyebalkan

Sudah banyak pertanyaan penting disaat pertemuan keluarga yang menimbulkan kegundahan seumur hidup disaat jenjang menjadi mahasiswa. Layaknya hal lumrah bagi para tetua, sesepuh, saudara sejagat maupun balita yang baru bisa merangkak.

Diam menjadi salah, menjawab pun juga salah ketika nilai nilai kuliah yang amburadul layaknya big bang jika dikaitkan dengan kosmologi yang mengenai ledakan dashyat didalam kepala yang menggumpal dan akhirnya meledak seperti bom atom meledakan hiroshima dan nagasaki di jepang.

Dengan dalil membicarakan nilai dibanding membicarakan kompeten yang telah dicapai. Namun, tetap saja diantara mereka tetap kokoh dengan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai hasil terbaik. Terbelenggu dengan aturan lama yang sudah tertanam kuat dikepala maupun di jiwa.

Lalu apakah konseptual itu bisa dileburkan seperti besi yang sudah tua dan tak terpakai?. Ekspetasi seperti itu sudah terbayangkan dari saya sejak lahir sampai sebesar pohon mangga yang berusia 2tahun ini. Stigma negatif dan kasar tentang pengalaman aktif didalam kehidupan yang sudah gundah gulana ini, membuat hidup semakin rumit menjadi benang kusut yang tak bisa dipakai lagi.

Tentu saja bagi generasi kaum milenial yang dipandang sebelah mata. pembuktian hanya sebatas omong kosong bagi mereka yang mengganggap nilai sebuah capaian terbaik dalam dunia maupun akhirat. Tanpa tahu menahu sudah banyak kompeten yang kita miliki dalam berbagai aktivitas di kehidupan yang bukan hanya sebatas nilai.

Menyinggung peran keluarga yang harusnya mendidik anaknya dengan baik, tetapi hanya menjadi terpaku dengan nilai. Hobi maupun karya juga hanya dilihat tapi tak di apresiasikan demi kebahagiaan anaknya.

Mengutip dari sudut pandang sosiologi tentang proposisi sukses "Semakin sering tindakan seseorang diberi penghargaan, orang itu akan semakin mungkin melakukan tindakan itu. (Homans, 1974: 16)". Bahwa peran keluarga sangatlah penting dalam mengapresiasi tindakan anaknya didalam keluarga.

Persoalan ini memungkinkan bagi para pasutri-pasutri muda yang menanamkan konsep bahwa nilai bukanlah acuan pertama, nilai boleh saja terbaik namun generasi milenial juga ingin mendapatkan suatu apresiasi maupun penghargaan dalam segala pencapaian yang telah generasi milenial capai selama jangka waktu hidupnya yang kian membosankan.